Skip to main content

Studi Pemikiran dan Gerakan Islam Indonesia

 

Studi Pemikiran dan Gerakan Islam Indonesia 

 

GERAKAN ISLAM SALAFI DAN HTI: MENELUSURI AKAR-AKAR IDEOLOGI FUNDALISME ISLAM TRANSNASIONAL DI INDONESIA

 

Perkembangan Dimulai Tahun 1980-an merupakan bagian penting dari perkembangan Islam di Indonesia. Pada tahun 1980-an ini, di kampus-kampus tidak berbasis keislaman seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI) dan Univ. Brawijaya berkembang kelompok-kelompok pengajian kampus, yang sering disebut sebagai Gerakan Dakwah Kampus, jamaah musholla, usrah-usrah, kelompok tarbiyah dan halaqah. Kelompok-kelompok gerakan Islam Kampus ini sekurang-kurangnya mempunyai ciri-ciri, memanjangkan jenggot (yang dianggap sebagai bagian dari sunnah Nabi), memanjangkan jilbab, yang sebelumnya pemakaian jilbab hanyalah identik dengan krudung (kerudung Mbak Tutut/ Ibu Shinta Abdurrahman Wahid), belakangan berkembang menjadi jilbab Astri Ivo, Inneke Koes Herawati, Desy Ratnasari, Ratih Sanggarwati, bahkan sebelumnya jilbab danmukena Krisdayanti bagi kelompok jamaah pengajian kampus yang perempuan. Sementara untuk kelompok laki-lakinya, selain memanjangkan jenggot, memakai pakaian congklang dan baju gamis (kita bilang baju koko), menghitamkan jidad, dan memanggilnya dengan sebutan ana untuk saya dan antum untuk anda atau kamu.

Meskipun saat ini ormas HTI telah dibubarkan, namun pergerakan ideologi anggota HTI tidak akan terkubur begitu saja. Ideologi HTI yang tertanam kuat dalam keyakinan anggotanya bisa menjelma lagi dalam bentuk ormas baru sebagai pengganti HTI, atau menjadi partai baru atau beralih haluan berpindah dan bergabung kepada partai berbasis Islam yang sudah ada. Mereka akan mencari partai-partai yang secara idiologi sama atau mirip dengan idiologi HTI sebelumnya, seperti PKS, PPP, PAN dan PBB. Kondisi ini akan terjadi jika mereka gagal memperjuangkan dan mempertahankan idiologinya dalam bentuk ormas. 

 

 

 

Jaringan Islam Liberal: Meneguhkan Ide-Ide Neo-Modernisme Islam, Pluralisme Agama, Gender Dan Universalitas HAM

Sejarah Jaringan Islam Liberal

Islam liberal telah muncul sekitar abad ke-18 saat kerajaan Turki Usmani dinasti Safawi dan dinasti Mughal tengah berada di gerbang keruntuhan. pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan pemurnian kembali kepada Alquran dan as-sunnah. Pemikiran Islam liberal atau JIL secara umum lebih banyak berbicara tentang masalah muamalah daripada berbicara masalah ibadah. tema-tema yang diangkat oleh Jil buksan merupakan tema yang bersifat baru akan tetapi  tema yang sebenarnya sudah ada sejak lama. seperti, masalah formalisasi syari'at islam, kontekstualisasi jihad, pluralisme dan toleransi, historitas alqur'an, emansipasi dan hak-hak wanita. namun yang paling banyak mendapat sorotan sekaligus tanggapan adalah masalah syariat Islam.

Karakteristik Jaringan Islam Liberal

1. Membuka pintu ijtihat pada semua dimensi Islam

2. Mengutamakan semangat religius etik bukan makna literal teks

3.  Mempercayai kebenaran relatif, terbuka, dan plural

4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas

5. Meyakini kebebasan beragama

6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, antara keagamaan dan politik.

 

Muhammad Natsir dan KH. Wahid Hasyim

Relasi Agama Negara dan Pembangunan : Pemikiran Modernisme  Islam dan Politi Islam (Muhammad Natsir dan KH. Wahid Hasyim)

 

KH. Abdul Wahid Hasyim merupakan anak pertama dari 15 orang anak dari pasangan KH. Hasyim Asyari dengan Nyai Nafiqah binti Kyai Ilyas. Wahid Hasyim  lahir di Jombang, pada Rabiul Awwal 1333 H atau 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian. Silsilah Wahid Hasyim dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir.

Di abad ini Tradisi Pesantren telah melahirkan budayawan agung Kiai Wahid Hasyim, tokoh pembangunan Peradaban Indonesia Modern, setaraf kualitas dan kelasnya dengan pendiri Peradaban Melayu Islam Nusantara antara abad ke-13 dan ke 17; Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Abdurrauf Singkel, dan Nuruddin Arraniri. Peneliti gagasan dan pemikiran Wahid Hasyim dalam dunia pendidikan, merupakan suatu hal yang sangat menarik. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini peneliti merumuskan konsep pemikiran pendidikan Wahid Hasyim dalam tiga aspek, yaitu

a) Tujuan Pendidikan Islam

b) Kurikulum Pendidikan

c) Metode Pembelajaran.

Muhammad Natsir lahir pada tanggal 17 Juli 1908 di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok.  Beliau tumbuh disaat masyarakat Minangkabau bersemangat bangkit melawan politik kolonial dan mengadakan perubahan doktrin keagamaan. Sehingga  pola pemikirannya sedikit banyak dipengaruhi dengan kondisi sosiologis tersebut. 

Pendidikan formalnya Muhammad Natsir belajar di HIS (Holland Inlandische School) Adabiyah dan Madrasah Diniyah Solok pada tahun 1916- 1923. setelah lulus dari HIS ia melanjutkan ke MULO (Meer Uitgerbreid Lager Onderswij) Padang. Muhammad Natsir mulai terlibat organisasi sejak di MULO, awalnya ia masuk Jong Sumatranen Bond di Padang, dan kemudian beralih ke Jong Islameten Bond (JIB), kedua organisasi tersebut diketuai oleh Sanusi Pane. Pada Juli 1927 ia tamat dari MULO dan melanjutkan ke AMS (Algemene Middelbare School) dengan jurusan sastra Barat (Eropa) klasik di Bandung.

Secara pemikiran Muhammad Natsir berpendapat dengan tegas bahwa Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi negara. Baginya secara de facto sudah pasti menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan anuta bangsa Indonesia. 

Muhammad Natsir beranggapan bahwa pada dasarnya urusan kenegaraan  merupakan bagian integral Islam, yang di dalamnya mengandung falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis Atau Komunisme. Dengan berdasarkan hujjah nas al-Qur’an yang dianggapnya mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara, Natsir menyebutkan QS. al-Dzariyat (51) ayat 56. Ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, agar mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak.

Muhammad Natsir pernah menegaskan dalam pidatonya dalam sidang pleno konstitusi 12  November 1957 bahwa mengenai dasar negara Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu sekulerisme; tanpa agama (la diniyyah) dan paham agama (dini). Dari pernyataan tegas Natsir tersebut diketahui bahwa Muhammad Natsir telah memberikan dua pilihan tersebut sebagai respon atas menguatnya dualisme pemikiran Islam saat itu antara yang menginginkan dasar negara Islam dan sekular.

Paham sekulerisme menurutnya sangat berbahaya dalam membentuk masyarakat ke depan, karena paham ini akan menagakibatkan manusia kehilangan pegangan hidup yang asasnya kokoh, yakni gampang terserang penyakit syaraf dan rohani, seorang sekulerisme memang beranggapan bahwa konsep tentang Tuhan adalah relatif, yakni ditentukan oleh keadaan masyarakat sendiri, bukan oleh wahyu. Paham inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menggerakkan fikiran Natsir, sebagai pemikir Islam. Dengan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.

Mengenai bersikerasnya Muhammad Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara republik Indonesia, karena ia berpandangan bahwa negara bisa menjadi alat yang kokoh bagi berlakunya hukum-hukum Islam.   Dengan demikian negara hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan, yakni mewujudkan ajaran-ajaran Islam.

Muhammad Natsir juga menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan hanya alat untuk merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, ia menyebutkan bahwa di antara aturan-aturan tersebut yaitu kewajiban belajar, kewajiban zakat, pemberantasan perzinaan dan lain sebagainya. Menurutnya, negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri, (sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat". Menurut Natsir, ada atau tidak adanya Islam, eksistensi negara nerupakan keharusan di dunia ini dan di zaman apapun, mendirikan negara tidak perlu disuruh Rasulullah lagi, eksistensi negara telah ada sebelum dan sesudah Islam, Jadi dengan Islam atau tidak tetap saja merupakan sebuah negara.

Kaum Adat dan Kaum Paderi: Krisis Politik Dan Kontestasi Teologis Kaum Pembaharu Dan Kaum Tradisionalis

Istilah kaum Padri tidak dikenal oleh masyarakat Minangkabau, lebih dikenal dengan sebutan “golongan putih dan golongan hitam”, penamaan ini berdasarkan dengan pakaian yang digunakan oleh masing-masing golongan. Menurut Cherestinne Dobbin kata Padri berasal dari kata Pedir (Pedie), sebuah kota pelabuhan di Aceh, yang merupakan tempat peziarah Minangkabau memulai pelayarannya ke Arab.

Gerakan ini berdiri pada tahun 1803-1820 M, yang dipelopori  oleh ketiga ulama pembaharu atau trio haji (Haji Miskin dari Pandai Sikek, Haji Sumanik dari VIII Koto, dan Haji Piabang dari Tanah Datar) dari Minagkabau. Gerakan ini mucul semenjak kepulanganya dari ibadah haji, yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi.

Usaha mereka memberantas kegiatan yang mereka anggap bid'ah dan kufarat ternyata kurang mulus. Pertentangan kaum paderi dengan kaum adat setempat tisak dapat terelakkan sehingga pecahlah perang paderi dan adat. Meski seiring berlalunya waktu, kaum paderi dan adat bersatu untuk berperang melawan belanda.

 

RELASI ISLAM DAN KEINDONESIAAN: IDE-IDE PRIBUMISASI ISLAM DAN ISLAM NUSANTARA PERSPEKTIF ABDURRAHMAN WAHID

Konteks Islam Keindonesiaan Perspektif Abdurrahman Wahid

Dalam konteks Islam pribumi, aspek universalisme Islam terkait dengan kenyataan terjadinya kosmopolitanisme Islam. Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Jika dilihat dari kacamata sejarah, perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum agama selama empat abad pertama sejarah Islam, akan nampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut oleh kaum Muslimin waktu itu. Walaupun hal itu dianggap sebagai kemelut kehidupan beragama kaum Muslimin, karena tidak adanya konsensus atas hal-hal dasar, maka harus juga dibaca dengan cara lain bahwa pemikir Muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka karena mampu saling berdialog secara bebas.

Titik tolak pemikiran Gus Dur bukan dengan mengagungkan modernisme, tetapi mengkritik modernisme yang diuniversalkan dengan menggunakan pisau tradisionalisme Islam. Gaya pemikiran seperti ini tampak jelas ketika Gus Dur menjelaskan soal universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam. Dalam persoalan universalisme Islam misalnya, Gus Dur tidak perlu merujuk secara langsung kepada alquran atau hadits, sebagaimana sering digunakan kelompok Islam modernis, tetapi merujuk pada teori dalam ushul al-fiqh yang disebut al-daruriyat al-khamsah (lima hal dasar agama).

Kelima hal dasar itu adalah, pertama, hifz al-din yang dimaknai Gus Dur sebagai keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan berpindah agama. Kedua, hifz al-nafs, yang dimaknai sebagai keharusan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum. Ketiga, hifz al-‘aql, pemeliharaan atas kecerdasan akal. Keempat, hifz al-nasl, keselamatan keluarga dan keturunan. Dan kelima, hifz al-mal, keselamatan hak milik, properti dan profesi dari gangguan dan penggusuran di luar prosedur hukum. Dari penjelasan ini sebenarnya Gus Dur sudah menggunakan term Islam klasik, kemudian diberi makna kontekstualnya. Term hifz al-din, misalnya, semula sekadar diberi makna memelihara agama, dalam arti orang Islam tidak boleh keluar dari Islam dan memeluk agama lain. Akan tetapi, di tangan Gus Dur, term ini menjadi spirit untuk melakukan pembelaan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Demikian juga, term hifz al-‘aql yang dalam fiqh klasik selalu dicontohkan dengan larangan meminum minuman keras, oleh Gus Dur, hifz al-‘aql dikaitkan dengan keharusan untuk memelihara dan mengasah kecerdasan.

Pengaruh Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam Keindonesiaan

Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuk autentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini melintas antara agama dan budaya.

Dengan adanya pola-pola keberagamaan (Islam) sesuai dengan konteks lokalnya dalam wujud “Islam Pribumi” sebagai jawaban dari “Islam Autentik” atau “Islam Purifikatif” yang ingin melakukan proyek arabisme di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. “Islam Pribumi” justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.

Sebagai contoh, dari praktik ritual dalam budaya populer di Indonesia, menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya lokal cukup erat. Salah satunya ialah upacara Pangiwahan di Jawa Barat, dimaksudkan agar manusia dapat menjadi wiwoho, yang mulia. Berangkat dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluk yang mulia.

 

Gerakan Spritualisme Jamaah Tabligh: Wajah Baru Sufisme Islam

Jamaah tabligh didirikan oleh Syaikh Maulana Ilyas bin Syaikh Muhammad Ismail al-Kandakhwai Al-Hanafi di benua Hindiam tapatnya di Kota Sahar Nufur. Beliau dilahirkan pada 1303H, dalam lingkungan keluarga yang mengikuti thariqat al-Jitsitiyyah al-Shufiyah. Beliau menimba ilmu di Madrasah Diyuband setelah di baiat oleh guru besar di pusat perkembangan jamaah tabligh yang berada di India, tepatnya di perkampungan Nazmuddin, Delhi. Mereka memiliki pusat jamaah abligh di sebuah masjid yang dikelilingi oleh 4 maqam wali. Mereka memuliakan masjid yang terdapat maqam wali tersebut. Jamaah tabligh ini menyebar ke Pakistan, Bangladesh hingga ke Indonesia.

Tujuan dakwah mereka adalah menciptakan dakwah model baru dengaan konsep jaulah (keluar wilayah untuk berdakwah dengan waktu yang telah ditentukan) dengan menekankan aspek pembinaan ibadah seperti dzikir, zuhud dan sabar. Syaikh Muhammad Ilyas Kandahlawi merupakan pemimpin jamaah yang kemudian ditruskan oleh putranya yaitu Sayikh Muhammad Yusuf Kandahlawi. Kesan pertama dari penmpilan jamaah tabligh adalah memakai gamis dan jubah, surban, dan memelihara janggut, itu semua merupakan sunnah menurut mereka yang masih tergolong asing pada masyarakat awam. Tetapi mereka aktivis jamaah tabligh yakin dengan niat yang ikhlas serta berakhlaq baik akan segera menghilangkan pandangan negatif dari masyarakat.

Jamaah tabligh merupakan salah satu gerakan muslim yang ada di Indonesia, dan sudah tersebar ke berbagai kota dan pelosok desa. Strategi yang digunakan adalah model strategi yang dilakukan oleh pada jaman Rasulullah. Mereka lebih mengutamakan dengan metode door to door dan bertatap muka secara langsung dan cara itu juga digunakan kepada siapa saja mereka bertemu. Tiga strategi dakwah jamaah tabligh diantaranya bayan dan jaulah. Strategi dakwah jamaah tabligh ini juga memiliki pengaruh bagi masyarakat, adakalanya masyarakat menerima ajaran dan dakwahnya, adakalanya masyarakat juga tidak menerima serta mengaggap ajaran ini sesat dan melenceng.

Relasi Islam dan Keindonesiaan : Ide-ide Pembaharuan Islam dan Neo-Moderisme Islam Perspektif Nur Cholis Madjid

Gagasan pembaharuan masuk ke Indonesia setidaknya melalui tiga jalur, yaitu haji dan mukim, publikasi, dan pendidikan, yang kemudian menginspirasi umat Muslim Indonesia, Adapun penyebab terjadi gerakan pembaharuan oleh karena adanya kesadaran atas realiti dunia. Islam yang sedang dalam kemunduran, keterbelakangan dan kejumudan pada satu sisi, dan kemajuan dunia Barat modern di sisi lain. Gagasan pembaharuan pun mengambil tema yang berbeda sesuai dengan konteks lokal bersangkutan dan cara pandang setiap pembaharu.

Dasar ke-Islaman dengan konteks lingkup nasional Neo-modernisme di Indonesia telah memiliki beberapa karakter yaitu: 

(1) sifat progresif, sebagaimana dapat dilihat adanya sikap yang positif pada modernitas,pengembangan dan kemajuan (Nurcholis Madjid, 1987:198). 

Dalam kajiannya ia lebih kritis terhadap persoalanpersoalan keadilan sosial yang disertai rasa optimis yaitu manusia yang bergerak dalam merespons tentang perubahan sosial yang sangat begitu cepat (Nurcholis Madjid, 1987: 201). 

(2) Neo-modernisme, sebagaimana fundamentalis dalam merespons modernitas, yaitu adanya gangguan globalisasi dan budaya barat pada Islam. Tidak sebagaimana fundamentalis yang memandang Barat adalah kebalikan dari timur.Neo-modernisme tak merasa menekankan adanya perbedaan Islam dengan Barat. Neo-modernisme bisa melakukan atau belajar dengan Barat dalam hal mempelajarai keilmuan serta kebudayaan yang ada misalnya kemanusiaan dan ilmu sosial.Neomodernisme, setuju dengan ide Barat sebagaimana halnya tentang demokrasi, pemisahan Negara dengan Agama, hak asasi manusia namun lebih menekankan bahwa ide Islam telah memberikan warisan terhadap Barat (Nurcholis Madjid, 1987: 203).

(3) dalam pemikiran neo-modernisme di Indonesia lebih mengarahkan pada sekuleralisme khusus berdasarkan pancasila dan konstitusi Negara Indonesia. Sehingga dalam sektarianisme keagamaan terpisah dengan keinginan Negara atau adanya keterpisahan antara Negara dengan Agama (Nurcholis Madjid, 1987: 207).

 (4) Kemudian keempat, neo-modernisme menghadirkan pola tentang pemikiran terkaitn dengan keterbukaan, kemudian inklusifisme serta pemahaman secara liberal yang bisa diterima dari semua kalangan, perlunya toleransi, pengakuan pluralism serta terjadinya hubungan yang harmonis di masyarakat (Nurcholis Madjid, 1987: 209).

 

Pemikiran K.H.Ahmad Dahlan dan Buya HAMKA

KH. Ahmad Dahlan juga berkiprah dalam memajukan pendidikan bagi muslim Indonesia. Perlu diketahui bahwa pendidikan Islam adalah sebuah orientasi kehidupan ideal Islam yang mampu menyeimbangkan dan memadukan antara kepentingan hidup duniawi dan ukhrawi. Tentunya, pendidikan harus pula memusatkan perhatian pada pengalaman dimana kegiatan hidup manusia harus bertumpu padanya.42 Pada tahun 1911 ia merintis sekolah dengan system yang terorganisir yang menggunakan kursi bangku ditambah dengan metode Barat.43 Oleh karena itu, gagasan Ahmad Dahlan perlu dicatat adalah menyeimbangkan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum lainnya.

Selain itu, KH. Ahmad Dahlan yang memiliki landasan kuat dalam keilmuan keagamaannya berusaha meluruskan praktek keagamaan masyarakat pada masanya yang tidak sejalan dengan landasan aslinya yakni al-Qur’an dan hadis. Seperti misalnya taqlid. KH. Ahmad Dahlan menolak taqlid. Ia juga menghilangkan tradisi selametan yang memohon ke kuburan. Hal itu dianggapnya dengan perbuatan bid’ah. Perbuatan lain yang ditolaknya seperti tahlil dan talqin serta kepercayaan terhadap jimat. Menurut KH. Ahmad Dahlan semua ini akan membawa kepada kemusyrikan.

Mengenai Gerakan sosial kemasyarakatannya sendiri, tentu tidak bisa lepas dari kenyataan yang ia temukan sehari-hari, kehidupan ditanah terjajah dengan serba tiada. Umat Islam tidak lagi memiliki kekuasaan politik sebagai pelindungnya. Akibatnya, petani menjadi tertindas dan hidup dalam kemiskinan luar biasa. Kelaparan, wabah penyakit ditambah system tanam paksa yang memberatkan maka muncullah banyak anak yatim piatu yang bertebaran. Kondisi yang demikian, mengilhami Ahmad Dahlan untuk ikut serta mendirikan organisasi, Perserikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912. Jika diperhatikan secara garis besar Ahmad Dahlan adalah ciri muslim fundamentalis yakni dengan mengembalikan semuanya kepada sumber utama Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Tetapi disisi lain pemikirannya mengenai pengembangan etika sosial dan tata hubungan sosial sesuai dengan tuntunan Islam itu sendiri membawa pribadi Ahmad Dahlan menjadi muslim modernis.

Sedangkan menurut pemikiran Buya Hamka menjelaskan bahwa pembaruan (modernisasi) mutlak diperlukan di segala bidang. Modernisasi untuk membangun jiwa bebas merdeka setelah sekian tahun terjajah. Modernisasi dari suasana feodal kepada alam demokrasi. Modernisasi dari sebuah negeri agraris tradisional menjadi Negara maju dan industrialis. Modernisasi dari suasana kebodohan kepada ilmu pengetahuan. Modernisasi ilmu pengetahuan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. Pembaruan di bidang pendidikan mutlak diperlukan. Hal itu karena terjadinya ketimpangan serius dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pertama pendidikan Barat yang menghasilkan rasa antipati kepada Islam. Dan kedua, pendidikan surau atau pondok yang membenci segala yang berbau Barat.

Sebagai akibat dari sistem pendidikan Barat itu, maka di kalangan orang Islam yang teguh memegang Islam menjadi antipati dengan segala yang berbau Belanda (Barat). Mereka yang tinggi ghirah agamanya tidak sudi menyekolahkan anaknya ke sekolah Belanda. Mereka lebih suka mendirikan pondok, belajar pengetahuan Islam yang tinggi ke Makkah lalu pulang. Setelah pulang mereka mendidik anak-anak dalam lingkungan Islam, isolasi dan memisahkan diri. Maka di negeri ini muncul dua golongan terpelajar Islam, yang satu golongan berkiblat ke Amsterdam dan yang lain berkiblat ke Makkah. Didikan Barat memandang sinis kepada agama, dan pendidikan surau membenci segala yang berbau Barat. Keduanya memandang yang lain dari segi negatifnya saja.

Oleh karena itu, pembaruan pendidikan Islam sangat diperlukan. Cara pandang yang serba negatif dan mencoba lari dari Islam harus dihentikan. Anak-anak Islam harus dididik untuk kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah. Bangga dengan sumber ajaran agamanya, memahami sejarah bangsanya, dan tidak tercerabut dari akar keislamannya. Begitu juga cara pandang yang sempit, mengisolasi diri, tidak mau membuka wawasan, sejatinya telah melenceng dari ajaran hakiki Islam yang menyuruh untuk belajar dan menguasai ilmu pengetahuan sehingga dapat menjadi khalifah di muka bumi.

Pemikiran Harun Nasution dan Mukti Ali

Pembaharuan Islam merupakan upaya dalam menyesuaikan pemahaman keagamaan Islam dengan perkembangan jaman terkini. Gerakan pembaharuan Nasution muncul dari kesadarannya akan kejumudan pemikiran Islam dan keronduannya akan masa keemasan Islam. Karenanya, setelah kembali ke Indonesia dan menjadi intelektual muslim, Harun getol mewacanakan pembaharuan Islam. Dalam bukunya “Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan”, muncul ide-ide pembaharuan dengan maksud mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat Islam agar sesuai dengan al-Quran dan al-Hadis. Ia mencontohkan seperti apa yang dilakukan Muhammad Abduh, yang mengemukakan ide-ide pambaharunya antara lain dengan cara menghilangkan bid’ah yang terdapat dalam ajaran Islam, kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, dibukanya kembali pintu ijtihad, menghargai pendapat akal dan menghilangkan sikap dualisme dalam bidang pendidikan. 

Dari arah pemikirannya, dua agenda saja yang ingin Harun wujudkan, pertama; bagaimana membawa umat Islam ke arah rasionalitas, kedua; bagaimana menumbuhkan pengakuan Qadariah (akal/ pikiran) manusia. Dua hal tersebut didasarkan pada fakta umat Islam Indonesia yang cenderung kolot (berpandangan kuno). Selanjutnya dari dua agenda yang ingin Harun wajudkan kepada Islam, khususnya Islam Indonesia, setidaknya bermuara kepada tiga gagasan besarnya yaitu; peranan akal diberikan ruang yang lebih luas, pembaharuan teologi umat, dan memperbaiki hubungan akal dan wahyu. Setidaknya menurut Harun tiga hal tersebut yang menyebabkan kelemahan dan kemunduran umat Islam.

Sedangkan Mukti Ali menjadi menteri pada masa orde baru yaitu pada kabinet pembangunan II dengan transisi waktu 28 maret 1973 sampai 29 maret 1978. Pada masa itu, banyak perubahan yang telah dilakukan dan itu memberikan dampak besar terhadap pendewasaan berfikir masyarakat Indonesia. Langkah konkrit yang dilakukan adalah memodernisasi lembaga departemen agama dengan mengusung jargon pengembangan manusia seutuhnya. Maksud dari pengembangan manusia seutuhnya ini adalah keselarasan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum bagi masyarakat Indonesia. Melalui (SKB) 3 menteri yaitu: Menteri Agama, Menteri P&K dan Menteri Dalam Negeri. A. Mukti Ali memberikan bukti dalam upayanya mereformulasi sistem pendidikan Islam di Indonesia. Karena sejak saat itu sampai sekarang. Istilah dikotomi pendidikan antara pendidikan Islam dan pendidikan umum sedikit demi sedikit dihilangkan. Bahkan melalui jasanya pula, lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen Agama mulai diperhitungkan.

MENELUSURI JEJAK ULAMA’ NUSANTARA

yekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari yang lebih populer dikenal dengan sebutan Muhammad Arsyad al-Banjari dilahirkan di kampung Luk Gabang (sekarang termasuk dalam wilayah Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan ) tanggal 13 Safar 1122 H. bertepatan dengan tahun 1710 M. Ayahnya bernama Abdullah dan ibunya bernama Siti Aminah'. Ia meninggal di kampung Dalam Pagar (sebuah kampung yang terletak sekitar 10 km. sebelah Barat kota Martapura ibu kota Kabupaten Banjar sekarang), tanggal 6 Syawal 1227 H, bertepatan dengan tahun 1812 M, dan dimakamkan di Kampung Kelampayan (sekarang termasuk dalam wilayah Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar). Syekh Muhammad Arsyad Al- Banjari berusia 105 tahun dalam perhitungan tahun Hijriah atau 102 tahun dalam perhitungan tahun Masehi.

Kehadiran dan keberadaan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari membawa era baru bagi umat Islam di kerajaan Banjar khususnya dan daerah Kalimantan umumnya. Sebagai seorang tokoh ulama ia dikenal lebih banyak memusatkan perhatiannya di bidang hukum Islam(fikih).

Syekh Ahmad khatib al-minagkabawi, memiliki nama lengkap Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz Al Khathib Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i al- Minangkabawi. Lahir pada hari Senin tanggal 6 Dzulhijjah 1276 H/1860M. di Koto Tuo Balai Gurah Kecamatan IV Angkek Candung Bukittinggi pada tahun 1276H / 1860M. Beliau wafat di Makkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H/1916 M) setelah berkiprah selama kurang lebih 56 tahun. Ayahnya adalah Buya Abdul Latif yang merupakan seorang ulama mumpuni di zamannya. Sementara ibunya bernama Limbak Urai asal Koto Tuo Balai Gurah. Ahmad Khatib Memiliki 5 saudara yaitu H. Mahmud, H. Aisyah, H. Hafsah, H. Safiah. Dari pihak bapak, beliau memiliki hubungan dengan H. Agus Salim, sedangkan dari pihak ibu beliau bersaudara ibu dengan H. Thaher Jalaluddin seorang ulama falak yang menentap dan meninggal di Malaysia. Melihat silsilahnya, Sheikh Ahmad Khatib memiliki hubungan dengan Tuanku Nan Tuo seorang guru dari para pejuang dan ulama-ulama Paderi.

 

Comments